Jumat, 15 Maret 2013

     Saya bangga bersekolah di SMPN 1 Cijeungjing karena sekolahnya bagus ,prestasinya agak meningkat di tahun 2013 ini dan saya senang bersekolah di SMPN 1 Cijeungjing karena guru-guru nya ramah .
     Saya bangga sama siswa-siswi SMPN 1 Cijeungjing karena prestasinya di bidang olahraga ,dan saya bangga karena SMPN 1 Cijeungjing mendapat piagam Kebersihan tingkat Jawa Barat

Jumat, 08 Maret 2013

SEJARAH KERAJAAN DI TATAR SUNDA

SEJARAH KERAJAAN SALAKA NAGARA

Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda merujuk kepada kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Tanah Sunda (wilayah bagian barat pulau Jawa) pada masa lalu sebelum berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1945. Kerajaan-kerajaan di Tanah Sunda terdiri dari:

1.   Salakanagara
2.   Tarumanagara (beribukota di Chandrabhaga/Bekasi & Sundapura)
3.   Kerajaan Sunda (disebut juga Sunda-Galuh, berikbukota di Pakuan Pajajaran; Saunggalah dan Kawali)
5.    Menurut naskah “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara”, kerajaan di pulau Jawa adalah Salakanagara (artinya: negara perak). Salakanagara didirikan pada tahun 52 Saka (130/131 Masehi). Lokasi kerajaan tersebut dipercaya berada di Teluk Lada, kota Pandeglang, kota yang terkenal dengan hasil logamnya (Pandeglang dalam bahasa Sunda merupakan singkatan dari kata-kata panday dan geulang yang artinya pembuat gelang). Dr. Edi S. Ekajati, sejarawan Sunda, memperkirakan bahwa letak ibukota kerajaan tersebut adalah yang menjadi kota Merak sekarang (merak dalam bahasa Sunda artinya "membuat perak"). Sebagain lagi memperkirakan bahwa kerajaan tersebut terletak di sekitar Gunung Salak, berdasarkan pengucapan kata "Salaka" dan kata "Salak" yang hampir sama.
6.    Adalah sangat mungkin bahwa Argyre atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis (Ptolemy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara.
7.    Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.
8.    Kerajaan Salakanagara kemudian digantikan oleh kerajaan Tarumanagara.
 Salakanagara, sebagaimana diuraikan dalam buku “Sejarah Banten; dari masa Nirleka, hingga akhir masa kejayaan Kesultanan Banten”, yang disusun oleh Drs. Yoseph Iskandar dkk, merupakan kerajaan tertua di Nusantara, atau setidak-tidaknya di Jawa bagian barat. Kerajaan tersebut didirikan oleh Dewawarman dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Haji Raksa Gapura Sagara, yang menggantikan mertuanya Aki Tirem pada tahun 130 M. Kerajaan tersebut berdiri selama 233 tahun, hingga tahun 363 M dibawah raja-raja keturunan Dewawarman. Konon, wangsa Dewawarman inilah yang menurunkan raja-raja di Nusantara, khususnya di Jawa Kulon, Sumatra, Semenanjung dan Jawa Tengah.

Kerajaan Salakanagara berada di pulau Panaitan dengan ibukota Rajatapura dan memiliki wilayah kekuasaan meliputi Jawa Kulon, Selat Sunda dan Sumatra bagian Selatan.
Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta - Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara). 
Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Keturunan India
Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

Tokoh awal yang berkuasa di sini adalah Aki Tirem. Konon, kota inilah yang disebut Argyre oleh Ptolemeus dalam tahun 150, terletak di daerah Teluk Lada Pandeglang. Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Dewi Pwahaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa (Negeri Api)yang berada di Pulau Krakatau.
Rajatapura adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Sementara  Jayasinghawarman  pendiri  Tarumanagara  adalah menantu Raja Dewawarman VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya.

Di kemudian hari setelah Jayasinghawarman mendirikan Tarumanagara, pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke Tarumanagara. Salakanagara kemudian berubah menjadi Kerajaan Daerah.

Urutan Raja Salakanagara
Tahun berkuasa
Nama raja
Julukan
Keterangan
130-168 M
DEWAWARMAN I
PRABU DARMALOKAPALA AJI RAKSA GAPURA SAGARA
Pedagang asal Bharata (India)
168-195 M
DEWAWARMAN II
PRABU DIGWIJAYAKASA DEWAWARMANPUTRA
Putera tertua Dewawarman I
195-238 M
DEWAWARMAN III
PRABU SINGASAGARA BIMAYASAWIRYA
Putera Dewawarman II
238-252 M
DEWAWARMAN IV

Menantu Dewawarman II, Raja Ujung Kulon
252-276 M
DEWAWARMAN V

MENANTU Dewawarman IV
195-238 M
DEWAWARMAN III
PRABU SINGASAGARA BIMAYASAWIRYA

276-289 M
MAHISASURAMARDINI WARMANDEWI

Puteri tertua Dewawarman IV & isteri Dewawarman V, karena Dewawarman V gugur melawan bajak laut,
289-308 M
DEWAWARMAN VI
SANG MOKTENG SAMUDERA
Putera tertua Dewawarman V
308-340 M
DEWAWARMAN VII
PRABU BIMA DIGWIJAYA SATYAGANAPATI
Putera tertua Dewawarman VI
340-348 M
SPHATIKARNAWA WARMANDEWI

Puteri sulung Dewawarman VII
348-362 M
DEWAWARMAN VIII
PRABU DARMAWIRYA DEWAWARMAN
Cucu Dewawarman VI yang menikahi Sphatikarnawa, raja terakhir Salakanagara
Mulai 362 M
DEWAWARMAN IX

Salakanagara telah menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara
^ *Ayatrohaedi: Sundakala, Cuplikan Sejarah Sunda Berdasar Naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" Cirebon. Pustaka Jaya, 2005.

KERAJAAN TARUMANAGARA
Tarumanagara atau Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkasa diwilayah Jawa bagian barat pada abad ke-4 hingga abah ke-7 Masehi, yang merupakan salah satu kerajaan tertua diNusantara yang diketahui.  Dalam catatan kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.

Peta wilayah kekuasaan kerajaan Taumanagara
 

Kamis, 28 Februari 2013

KEAN SANTANG

Geus papat sakabéh ajian di Nusa Jawa
Candrabirawa ngapak ngapung nerus bumi
Geus cepak kadigjayaan urang Pajajaran
Sagala nyawana manusa sagala nyawana hayawan
Taluk maring ingsun
Nya ingsun anak Ratu Sunda
Nyakrawati cahya manik gilang-gumilang

Nya aing nu taya lawan
Langit meneng bumi meneng
Kahidep kakekep ku pangawasa aing

Dijorag Mekah lain saukur béja
Ditéang singa tepi ka guhana
Tiba jenenganana Prabu Kéan Santang maring ingsun
Sir aing Siliwangi
Rasa aing Rosululloh

Dempak Nusa Jawa ku pangawasana
Dibeberik ramana tepi ka Sancang
Mubus ka Embah Brajadilewa
Dirabut kaboa ti Kopocondong
Nanjeur jati tangkal panyadapan
Rep kangkeng rep wangkeng
Nagri asri jadi leuweung geledegan

Disapa sing saha nu wangkelang
Ngahiang tinggal nu belang
Dikeureut sing saha nu asup Islam
Sibret jungkel saratus tinggal saurang
Sasakala ngaran tempat Salam Nunggal

Sumirat salam Alloh di nusa tigang puluh tiga
Subur tatanduranana di bangawan sawidak lima
Mulih perang ngahalwat heula di Suci
Méméh miang kieu pangandikana
Geus tutas tugas kaula
Ari tapsir-tapsir agama putu kula bagéanana

Di Pameungpeuk ngadon makuwon di Dépok
Ngalanglaung puncakna gunung nagara
Ceuk sakaol di dinya Kéan Santang makamna

Jumat, 08 Februari 2013

Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam Prasasti batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di kerajaan Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun,Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.


Prabu Siliwangi

  Prasasti batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu  Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Biografi

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudera Pasai ). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya

Kamis, 07 Februari 2013

 NGAMUMULE BASA SUNDA
 
 
 
Ajeg-ajeg kasundaan teh diantarana baris katingali dina soal basa. Pan asa aneh lamun urang Sunda tapi teu bisa make basa Sunda. Piraku ari urang Jawa make basa Jawa, urang Batak make basa Batak, ari urang Sunda teu make basa Sunda?
 
Nu jadi masalah, kumaha carana sangkan basa Sunda henteu tumpur? Najan patalekan ieu karasana asa bombastis, tapi lamun nempo gejalana saperti nu karandapan ku urang ayeuna, asana teh lain hal anu pamohalan upama ka hareupna basa Sunda baris tumpur. Mangga bae emutan, kiwari loba urang Sunda meleg-meleg anu teu ngajarkeun nyarita ku basa Sunda ka anak-anakna.
 
Padahal ngajarkeun nyarita ku basa Sunda ka anak-anak urang teh mangrupa pondasi pikeun negeskeun identitas yen urang teh urang Sunda saestu. Komo lamun nilik kana pangajaran basa Sunda di sakola anu waktuna mingkin samporet. Boro-boro bisa diandelkeun pikeun ngadadasaran kana pangaweruh budak ngeunaan basa Sunda, dalah guruna oge kadang-kadang lain ti jurusan basa Sunda.
 
Lian ti eta, lingkungan oge mindeng teu ngadukung kana tumuwuhna basa Sunda, hususna di kota-kota gede anu padumukna multi-etnis. Anu matak, cilaka pisan lamun anak-anak urang teu dibiasakeun diajak nyarita di imah make basa Sunda. Atuda iraha dipakena basa Sunda teh mun lain di imah, sabab di luar imah mah enya ge dipake tapi geus pabaliut jeung direumbeuy ku basa Indonesia.
 
Ku cara kitu, diharepkeun bakal aya generasi penerus anu baris nuluykeun eksistensi basa Sunda di tatar parahiangan. Pun alo, umur 2 taun, dibiasakeun nyarita make basa Sunda ku indung bapana. Mun keur arulin jeung baturna ge manehna mah ongkoh-ongkoh we galecok make basa Sunda. Mun baturna molohok teu ngarti, kakara manehna narjamahkeun make basa Indonesia. Geus baturna ngartieun mah, der deui we ngocoblak make basa Sunda.
 
Di dieu ku urang katingali, yen diajar make basa Indonesia mah leuwih gampang, sabab di luareun imah ge balatak nu nyarita make basa Indonesia. Lamun dadasarna geus kuat, urang moal hariwang boga budak palahak-polohok teu bisa basa Sunda. Sabalikna mun di imah diajak nyarita basa Indonesia, di luar imah oge nya kitu keneh, rek iraha bisana atuh budak teh make jeung ngarti kana basa Sunda?
 
Mun urang ngaku keneh urang Sunda, sing era atuh ku seler sejen nu bubuara di tatar Pasundan. Si Togar urang Batak, si Ayu urang Kebumen, atawa si Freddy urang Manado geuning bisa capetang make basa Sunda ari keyeng mah diajarna? Maenya ari anak urang, pituin urang Sunda, kalah ngabigeu lamun diajak nyarita basa Sunda?
 

Ngamumule basa sunda, lamun teu ku urang sunda ku saha deui

Pan asa aneh lamun urang sunda teu bisa ngomong sunda, piraku ari urang Jawa make bahsa jawa urang batak make bahasa batak ari urang sunda
henteu make bahasa sunda?
Ayeuna urang tilik kumaha carana bahasa anu ku
urang sunda di pika cinta ieu sangkan teu nepi ka tumpur. Tapi nempo kaayaan saperti kieu mah heunteu mustahil upama ka hareupna bahasa sunda bakal tumpur, coba ku urang titenan, kiwari loba kolot nu ngajarkeun ka anak na make bahasa indonesia, tah eta hiji conto gambaran kajadian nu ku urang perlu di perhatikeun, kusabab kajadian samodel kieu teh heunteu saeutik panyebab na bisa salah sahiji kolotna lain urang sunda(kawin jeung urang kota).

Conto sejen na di sakola bahsa sunda teh ngan di ajarkeun na saminggu sakali, jeung deuih malah mandar guruna ge lain ti jurusan bhs sunda. Kahareupna kumaha sangkan aya generasi anu baris nuluykeun ekistensi bahasa sunda di kolong alam dunya, khusus namah di tanah parahiangan.

bahasa sunda teh warisan ti karuhun urang pasundan nu matak urang nu jadi orang sunda asli kudu ngamumule bahasa sunda.
Ari kuringmah insyaALLAH moal nepi ka poho bahasa ibu lantaran bahasa sunda teh geus ngadarah daging.



tah si kang kieu anu tos ngangkat kreatifitas sunda ku cara lagu lagu na anu reueus kana ceuli,..
hatur nuhun kang ....
Doel Sumbang salah sahiji penyanyi tur musisi sunda anu masih keneh aya, puluhan lagu sunda hade anu tos di jieun ku anjeun na.

sareng teu hilap ka kang darso anu ayeuna parantos pupus, mugia amal ibadah na di tampi ku Allah SWT
kang darso mangrupi seniorna kang doel, kreasi na patut di acungkeun 2 jempol...

masa masa emas na kirakira di tahun 80-90 an, lagu anu pasti ku urang sunda pada apal kabeh nyaeta mawar bodas.

kreasi anjeuna di bidang seni sunda pantes di sandang
"DARSO, the phenomenal.."







Lamun urang ngaku keneh urang sunda hayu urang babarengan ngamumule bahasa sunda, ngomong make bahsa sunda, narita jeung babaturan make bahsa sunda kudu era atuh ku seler nu lain,..piraku si Asep urang cilacap ngomong na make bahsa jawa jeung si ricardo urang medan ngomongna make bahasa batak, urang ge tong eleh.

hayu urang ngamumule bahsa sunda ku sakamampu urang...

Siloka Sunda

nganteur lamunan mapay laratan
di jalan nu taringgul ku babatuan
hayang tepi kanu jugjugan
pangbalikan kahirupan nu sa enyana

di jalan kalah panggih jeung nyi mojang
matak hanjakal mun teu di ajak kenalan
komo ningali manehna sura seuri siga nu merean
tungtungna kuring poho kana pamadegan

memang ngeunah kacida
leuleumpangan di jalan babatuan