Kamis, 28 Februari 2013

KEAN SANTANG

Geus papat sakabéh ajian di Nusa Jawa
Candrabirawa ngapak ngapung nerus bumi
Geus cepak kadigjayaan urang Pajajaran
Sagala nyawana manusa sagala nyawana hayawan
Taluk maring ingsun
Nya ingsun anak Ratu Sunda
Nyakrawati cahya manik gilang-gumilang

Nya aing nu taya lawan
Langit meneng bumi meneng
Kahidep kakekep ku pangawasa aing

Dijorag Mekah lain saukur béja
Ditéang singa tepi ka guhana
Tiba jenenganana Prabu Kéan Santang maring ingsun
Sir aing Siliwangi
Rasa aing Rosululloh

Dempak Nusa Jawa ku pangawasana
Dibeberik ramana tepi ka Sancang
Mubus ka Embah Brajadilewa
Dirabut kaboa ti Kopocondong
Nanjeur jati tangkal panyadapan
Rep kangkeng rep wangkeng
Nagri asri jadi leuweung geledegan

Disapa sing saha nu wangkelang
Ngahiang tinggal nu belang
Dikeureut sing saha nu asup Islam
Sibret jungkel saratus tinggal saurang
Sasakala ngaran tempat Salam Nunggal

Sumirat salam Alloh di nusa tigang puluh tiga
Subur tatanduranana di bangawan sawidak lima
Mulih perang ngahalwat heula di Suci
Méméh miang kieu pangandikana
Geus tutas tugas kaula
Ari tapsir-tapsir agama putu kula bagéanana

Di Pameungpeuk ngadon makuwon di Dépok
Ngalanglaung puncakna gunung nagara
Ceuk sakaol di dinya Kéan Santang makamna

Jumat, 08 Februari 2013

Sri Baduga Maharaja (Ratu Jayadewata) mengawali pemerintahan zaman Pajajaran, yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.
Dalam Prasasti batutulis diberitakan bahwa Sri Baduga dinobatkan dua kali, yaitu yang pertama ketika Jayadewata menerima tahta Kerajaan Galuh dari ayahnya (Prabu Dewa Niskala) yang kemudian bergelar Prabu Guru Dewapranata. Yang kedua ketika ia menerima tahta Kerajaan Sunda dari mertuanya, Susuktunggal. Dengan peristiwa ini, ia menjadi penguasa Sunda-Galuh dan dinobatkan dengar gelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di kerajaan Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Jadi, sekali lagi dan untuk terakhir kalinya, setelah "sepi" selama 149 tahun,Jawa Barat kembali menyaksikan iring-iringan rombongan raja yang berpindah tempat dari timur ke barat. Untuk menuliskan situasi kepindahan keluarga kerajaan dapat dilihat pada Pindahnya Ratu Pajajaran.


Prabu Siliwangi

  Prasasti batutulis di Bogor menyebutkan keagungan Sri Baduga Maharaja dalam sejarah.
Di Jawa Barat, Sri Baduga ini lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri Baduga masih hidup. Lakon Prabu Siliwangi dalam berbagai versinya berintikan kisah tokoh ini menjadi raja di Pakuan. Peristiwa itu dari segi sejarah berarti saat Sri Baduga mempunyai kekuasaan yang sama besarnya dengan Wastu  Kancana (kakeknya) alias Prabu Wangi (menurut pandangan para pujangga Sunda). Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru pantun memopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka dudu ngaran swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya.

Biografi

Masa muda

Waktu mudanya Sri Baduga terkenal sebagai ksatria pemberani dan tangkas, bahkan satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu Japura (Amuk Murugul) waktu bersaing memperbutkan Subanglarang (istri kedua Prabu Siliwangi yang beragama Islam). Dalam berbagai hal, orang sezamannya teringat kepada kebesaran mendiang buyutnya (Prabu Maharaja Lingga Buana) yang gugur di Bubat yang digelari Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara II/2 mengungkapkan bahwa orang Sunda menganggap Sri Baduga sebagai pengganti Prabu Wangi, sebagai silih yang telah hilang. Naskahnya berisi sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat, ia banyak membinasakan musuhnya karena Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, tidak mau negaranya diperintah dan dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Gajah Mada yang jumlahnya tidak terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya di seluruh bumi Jawa Barat. Kemasyurannya sampai kepada beberapa negara di pulau-pulau Dwipantara atau Nusantara namanya yang lain. Kemashuran Sang Prabu Maharaja membangkitkan (rasa bangga kepada) keluarga, menteri-menteri kerajaan, angkatan perang dan rakyat Jawa Barat. Oleh karena itu, nama Prabu Maharaja mewangi. Selanjutnya ia di sebut Prabu Wangi. Dan keturunannya lalu disebut dengan nama Prabu Siliwangi. Demikianlah menurut penuturan orang Sunda".

Perang Bubat

Kesenjangan antara pendapat orang Sunda dengan fakta sejarah seperti yang diungkapkan di atas mudah dijajagi. Pangeran Wangsakerta, penanggung jawab penyusunan Sejarah Nusantara, menganggap bahwa tokoh Prabu Wangi adalah Maharaja Linggabuana yang gugur di Bubat, sedangkan penggantinya ("silih"nya) bukan Sri Baduga melainkan Wastu Kancana (kakek Sri Baduga, yang menurut naskah Wastu Kancana disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak memperhatikan perbedaan ini sehingga menganggap Prabu Siliwangi sebagai putera Wastu Kancana (Prabu Anggalarang). Tetapi dalam Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Niskala Wastu Kancana itu adalah "seuweu" Prabu Wangi. Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri Baduga) dilewat? Ini disebabkan Dewa Niskala hanya menjadi penguasa Galuh. Dalam hubungan ini tokoh Sri Baduga memang penerus "langsung" dari Wastu Kancana. Menurut Pustaka Rajyarajya I Bhumi Nusantara II/4, ayah dan mertua Sri Baduga (Dewa Niskala dan Susuktunggal) hanya bergelar Prabu, sedangkan Jayadewata bergelar Maharaja (sama seperti kakeknya Wastu Kancana sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti diutarakan Amir Sutaarga (1965), Sri Baduga itu dianggap sebagai "silih" (pengganti) Prabu Wangi Wastu Kancana (oleh Pangeran Wangsakerta disebut Prabu Wangisutah). "Silih" dalam pengertian kekuasaan ini oleh para pujangga babad yang kemudian ditanggapi sebagai pergantian generasi langsung dari ayah kepada anak sehingga Prabu Siliwangi dianggap putera Wastu Kancana.

Kebijakan dalam kehidupan sosial

Tindakan pertama yang diambil oleh Sri Baduga setelah resmi dinobatkan jadi raja adalah menunaikan amanat dari kakeknya (Wastu Kancana) yang disampaikan melalui ayahnya (Ningrat Kancana) ketika ia masih menjadi mangkubumi di Kawali. Isi pesan ini bisa ditemukan pada salah satu prasasti peninggalan Sri Baduga di Kebantenan. Isinya sebagai berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana. Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana, maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran. Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa.
Semoga ada yang mengurusnya. Jangan memberatkannya dengan "dasa", "calagra", "kapas timbang", dan "pare dongdang".
Maka diperintahkan kepada para petugas muara agar jangan memungut bea. Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran. Merekalah yang tegas mengamalkan peraturan dewa.
Dengan tegas di sini disebut "dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri dan Sunda Sembawa. Penduduk kedua dayeuh ini dibebaskan dari 4 macam pajak, yaitu "dasa" (pajak tenaga perorangan), "calagra" (pajak tenaga kolektif), "kapas timbang" (kapas 10 pikul) dan "pare dondang" (padi 1 gotongan). Dalam kropak 630, urutan pajak tersebut adalah dasa, calagra, "upeti", "panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang atau menurut Coolsma, 1 caeng timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Kapas termasuk upeti. Jadi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut "panggeres reuma". Panggeres adalah hasil lebih atau hasil cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Jadi, padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat (tohaan). Dongdang adalah alat pikul seperti "tempat tidur" persegi empat yang diberi tali atau tangkai berlubang untuk memasukan pikulan. Dondang harus selalu digotong. Karena bertali atau bertangkai, waktu digotong selalu berayun sehingga disebut "dondang" (berayun). Dondang pun khusus dipakai untuk membawa barang antaran pada selamatan atau arak-arakan. Oleh karena itu, "pare dongdang" atau "penggeres reuma" ini lebih bersifat barang antaran.
Pajak yang benar-benar hanyalah pajak tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra" (Di Majapahit disebut "walaghara = pasukan kerja bakti). Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya : menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagara. Sistem dasa dan calagara ini terus berlanjut setelah zaman kerajaan. Belanda yang di negaranya tidak mengenal sistem semacam ini memanfaatkanna untuk "rodi". Bentuk dasa diubah menjadi "Heerendiensten" (bekerja di tanah milik penguasa atau pembesar). Calagara diubah menjadi "Algemeenediensten" (dinas umum) atau "Campongdiesnten" (dinas Kampung) yang menyangkut kepentingan umum, seperti pemeliharaan saluran air, jalan, rumah jada dan keamanan. Jenis pertama dilakukan tanpa imbalan apa-apa, sedangkan jenis kedua dilakuan dengan imbalan dan makan. "Preangerstelsel" dan "Cultuurstelsel" yang keduanya berupa sistem tanam paksa memanfaatkan tradisi pajak tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19 bentuknya berubah menjadi "lakon gawe" dan berlaku untuk tingkat desa. Karena bersifat pajak, ada sangsi untuk mereka yang melalaikannya. Dari sinilah orang Sunda mempunyai peribahasa "puraga tamba kadengda" (bekerja sekedar untuk menghindari hukuman atau dendaan). Bentuk dasa pada dasarnya tetap berlangsung. Di desa ada kewajiban "gebagan" yaitu bekerja di sawah bengkok dan ti tingkat kabupaten bekerja untuk menggarap tanah para pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional berupa bekerja untuk kepentingan umum atas perintah kepala desa", menurut sejarahnya bukanlah gotong royong. Memang tradisional, tetapi ide dasarnya adalah pajak dalam bentuk tenaga. Dalam Pustaka Jawadwipa disebut karyabhakti dan sudah dikenal pada masa Tarumanagara dalam abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa "piteket" karena langsung merupakan perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga penetapan batas-batas "kabuyutan" di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai "lurah kwikuan" yang disebut juga desa perdikan, desa bebas pajak.

Peristiwa-peristiwa pada masa pemerintahannya

Beberapa peristiwa menurut sumber-sumber sejarah:

Carita Parahiyangan

Dalam sumber sejarah ini, pemerintahan Sri Baduga dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui, bahwa pada saat itu telah banyak Rakyat Pajajaran yang beralih agama (Islam) dengan meninggalkan agama lama.

Pustaka Nagara Kretabhumi parwa I sarga 2.

Naskah ini menceritakan, bahwa pada tanggal 12 bagian terang bulan Caitra tahun 1404 Saka, Syarif Hidayat menghentikan pengiriman upeti yang seharusnya di bawa setiap tahun ke Pakuan Pajajaran. [Syarif Hidayat masih cucu Sri Baduga dari Lara Santang. Ia dijadikan raja oleh uanya (Pangeran Cakrabuana) dan menjadi raja merdeka di Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja menempati istana Sang Bhima (sebelumnya di Surawisesa). Kemudian diberitakan, bahwa pasukan Angkatan Laut Demak yang kuat berada di Pelabuhan Cirebon untuk menjada kemungkinan datangnya serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta 60 anggota pasukannya yang dikirimkan dari Pakuan ke Cirebon, tidak mengetahui kehadiran pasukan Demak di sana. Jagabaya tak berdaya menghadapi pasukan gabungan Cirebon-Demak yang jumlahnya sangat besar. Setelah berunding, akhirnya Jagabaya menghamba dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan kemarahan Sri Baduga. Pasukan besar segera disiapkan untuk menyerang Cirebon. Akan tetapi pengiriman pasukan itu dapat dicegah oleh Purohita (pendeta tertinggi) keraton Ki Purwa Galih. [Cirebon adalah daerah warisan Cakrabuana (Walangsungsang) dari mertuanya (Ki Danusela) dan daerah sekitarnya diwarisi dari kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan oleh Sri Baduga (sebelum menjadi Susuhunan) sebagai penguasa Cirebon dengan gelar Sri Mangana. Karena Syarif Hidayat dinobatkan oleh Cakrabuana dan juga masih cucu Sri Baduga, maka alasan pembatalan penyerangan itu bisa diterima oleh penguasa Pajajaran].
Demikianlah situasi yang dihadapi Sri Baduga pada awal masa pemerintahannya. Dapat dimaklumi kenapa ia mencurahkan perhatian kepada pembinaan agama, pembuatan parit pertahanan, memperkuat angkatan perang, membuat jalan dan menyusun PAGELARAN (formasi tempur). [Pajajaran adalah negara yang kuat di darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di seluruh kerajaan, Pajajaran memiliki kira-kira 100.000 prajurit. Raja sendiri memiliki pasukan gajah sebanyak 40 ekor. Di laut, Pajajaran hanya memiliki enam buah Kapal Jung 150 ton dan beberaa lankaras (?) untuk kepentingan perdagangan antar-pulaunya (saat itu perdagangan kuda jenis Pariaman mencapai 4000 ekor/tahun)].
Keadaan makin tegang ketika hubungan Demak-Cirebon makin dikukuhkan dengan perkawinan putera-puteri dari kedua belah pihak. Ada empat pasangan yang dijodohkan, yaitu :
  1. Pangeran Hasanudin dengan Ratu Ayu Kirana (Purnamasidi).
  2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor.
  3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun.
  4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan (Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang Lor alias Yunus Abdul Kadir dengan Ratu Ayu terjadi 1511. Sebagai Senapati Sarjawala, panglima angkatan laut, Kerajaan Demak, Sabrang Lor untuk sementara berada di Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak inilah yang sangat mencemaskan Sri Baduga di Pakuan. Tahun 1512, ia mengutus putera mahkota Surawisesa menghubungi Panglima Portugis Alfonso d'Albuquerque di Malaka (ketika itu baru saja gagal merebut Pelabuhan Pasai atau Samudera Pasai ). Sebaliknya upaya Pajajaran ini telah pula meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan Susuhunan Jati (Syarif Hidayat) tetap menghormati Sri Baduga karena masing-masing sebagai ayah dan kakek. Oleh karena itu permusuhan antara Pajajaran dengan Cirebon tidak berkembang ke arah ketegangan yang melumpuhkan sektor-sektor pemerintahan. Sri Baduga hanya tidak senang hubungan Cirebon-Demak yang terlalu akrab, bukan terhadap Kerajaan Cirebon. Terhadap Islam, ia sendiri tidak membencinya karena salah seorang permaisurinya, Subanglarang, adalah seorang muslimah dan ketiga anaknya -- Walangsungsang alias Cakrabuana, Lara Santang, dan Raja Sangara -- diizinkan sejak kecil mengikuti agama ibunya (Islam).
Karena permusuhan tidak berlanjut ke arah pertumpahan darah, maka masing masing pihak dapat mengembangkan keadaan dalam negerinya. Demikianlah pemerintahan Sri Baduga dilukiskan sebagai zaman kesejahteraan (Carita Parahiyangan). Tome Pires ikut mencatat kemajuan zaman Sri Baduga dengan komentar "The Kingdom of Sunda is justly governed; they are true men" (Kerajaan Sunda diperintah dengan adil; mereka adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan perdagangan Sunda dengan Malaka sampai ke kepulauan Maladewa (Maladiven). Jumlah merica bisa mencapai 1000 bahar (1 bahar = 3 pikul) setahun, bahkan hasil tammarin (asem) dikatakannya cukup untuk mengisi muatan 1000 kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari Sumedang dan Pancakaki Masalah karuhun Kabeh dari Ciamis yang ditulis dalam abad ke-18 dalam bahasa Jawa dan huruf Arab-pegon masih menyebut masa pemerintahan Sri Baduga ini dengan masa gemuh Pakuan (kemakmuran Pakuan) sehingga tak mengherankan bila hanya Sri Baduga yang kemudian diabadikan kebesarannya oleh raja penggantinya dalam zaman Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu Siliwangi yang dalam Prasasti Tembaga Kebantenan disebut Susuhuna di Pakuan Pajajaran, memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Ia disebut secara anumerta Sang Lumahing (Sang Mokteng) Rancamaya karena ia dipusarakan di Rancamaya

Kamis, 07 Februari 2013

 NGAMUMULE BASA SUNDA
 
 
 
Ajeg-ajeg kasundaan teh diantarana baris katingali dina soal basa. Pan asa aneh lamun urang Sunda tapi teu bisa make basa Sunda. Piraku ari urang Jawa make basa Jawa, urang Batak make basa Batak, ari urang Sunda teu make basa Sunda?
 
Nu jadi masalah, kumaha carana sangkan basa Sunda henteu tumpur? Najan patalekan ieu karasana asa bombastis, tapi lamun nempo gejalana saperti nu karandapan ku urang ayeuna, asana teh lain hal anu pamohalan upama ka hareupna basa Sunda baris tumpur. Mangga bae emutan, kiwari loba urang Sunda meleg-meleg anu teu ngajarkeun nyarita ku basa Sunda ka anak-anakna.
 
Padahal ngajarkeun nyarita ku basa Sunda ka anak-anak urang teh mangrupa pondasi pikeun negeskeun identitas yen urang teh urang Sunda saestu. Komo lamun nilik kana pangajaran basa Sunda di sakola anu waktuna mingkin samporet. Boro-boro bisa diandelkeun pikeun ngadadasaran kana pangaweruh budak ngeunaan basa Sunda, dalah guruna oge kadang-kadang lain ti jurusan basa Sunda.
 
Lian ti eta, lingkungan oge mindeng teu ngadukung kana tumuwuhna basa Sunda, hususna di kota-kota gede anu padumukna multi-etnis. Anu matak, cilaka pisan lamun anak-anak urang teu dibiasakeun diajak nyarita di imah make basa Sunda. Atuda iraha dipakena basa Sunda teh mun lain di imah, sabab di luar imah mah enya ge dipake tapi geus pabaliut jeung direumbeuy ku basa Indonesia.
 
Ku cara kitu, diharepkeun bakal aya generasi penerus anu baris nuluykeun eksistensi basa Sunda di tatar parahiangan. Pun alo, umur 2 taun, dibiasakeun nyarita make basa Sunda ku indung bapana. Mun keur arulin jeung baturna ge manehna mah ongkoh-ongkoh we galecok make basa Sunda. Mun baturna molohok teu ngarti, kakara manehna narjamahkeun make basa Indonesia. Geus baturna ngartieun mah, der deui we ngocoblak make basa Sunda.
 
Di dieu ku urang katingali, yen diajar make basa Indonesia mah leuwih gampang, sabab di luareun imah ge balatak nu nyarita make basa Indonesia. Lamun dadasarna geus kuat, urang moal hariwang boga budak palahak-polohok teu bisa basa Sunda. Sabalikna mun di imah diajak nyarita basa Indonesia, di luar imah oge nya kitu keneh, rek iraha bisana atuh budak teh make jeung ngarti kana basa Sunda?
 
Mun urang ngaku keneh urang Sunda, sing era atuh ku seler sejen nu bubuara di tatar Pasundan. Si Togar urang Batak, si Ayu urang Kebumen, atawa si Freddy urang Manado geuning bisa capetang make basa Sunda ari keyeng mah diajarna? Maenya ari anak urang, pituin urang Sunda, kalah ngabigeu lamun diajak nyarita basa Sunda?
 

Ngamumule basa sunda, lamun teu ku urang sunda ku saha deui

Pan asa aneh lamun urang sunda teu bisa ngomong sunda, piraku ari urang Jawa make bahsa jawa urang batak make bahasa batak ari urang sunda
henteu make bahasa sunda?
Ayeuna urang tilik kumaha carana bahasa anu ku
urang sunda di pika cinta ieu sangkan teu nepi ka tumpur. Tapi nempo kaayaan saperti kieu mah heunteu mustahil upama ka hareupna bahasa sunda bakal tumpur, coba ku urang titenan, kiwari loba kolot nu ngajarkeun ka anak na make bahasa indonesia, tah eta hiji conto gambaran kajadian nu ku urang perlu di perhatikeun, kusabab kajadian samodel kieu teh heunteu saeutik panyebab na bisa salah sahiji kolotna lain urang sunda(kawin jeung urang kota).

Conto sejen na di sakola bahsa sunda teh ngan di ajarkeun na saminggu sakali, jeung deuih malah mandar guruna ge lain ti jurusan bhs sunda. Kahareupna kumaha sangkan aya generasi anu baris nuluykeun ekistensi bahasa sunda di kolong alam dunya, khusus namah di tanah parahiangan.

bahasa sunda teh warisan ti karuhun urang pasundan nu matak urang nu jadi orang sunda asli kudu ngamumule bahasa sunda.
Ari kuringmah insyaALLAH moal nepi ka poho bahasa ibu lantaran bahasa sunda teh geus ngadarah daging.



tah si kang kieu anu tos ngangkat kreatifitas sunda ku cara lagu lagu na anu reueus kana ceuli,..
hatur nuhun kang ....
Doel Sumbang salah sahiji penyanyi tur musisi sunda anu masih keneh aya, puluhan lagu sunda hade anu tos di jieun ku anjeun na.

sareng teu hilap ka kang darso anu ayeuna parantos pupus, mugia amal ibadah na di tampi ku Allah SWT
kang darso mangrupi seniorna kang doel, kreasi na patut di acungkeun 2 jempol...

masa masa emas na kirakira di tahun 80-90 an, lagu anu pasti ku urang sunda pada apal kabeh nyaeta mawar bodas.

kreasi anjeuna di bidang seni sunda pantes di sandang
"DARSO, the phenomenal.."







Lamun urang ngaku keneh urang sunda hayu urang babarengan ngamumule bahasa sunda, ngomong make bahsa sunda, narita jeung babaturan make bahsa sunda kudu era atuh ku seler nu lain,..piraku si Asep urang cilacap ngomong na make bahsa jawa jeung si ricardo urang medan ngomongna make bahasa batak, urang ge tong eleh.

hayu urang ngamumule bahsa sunda ku sakamampu urang...

Siloka Sunda

nganteur lamunan mapay laratan
di jalan nu taringgul ku babatuan
hayang tepi kanu jugjugan
pangbalikan kahirupan nu sa enyana

di jalan kalah panggih jeung nyi mojang
matak hanjakal mun teu di ajak kenalan
komo ningali manehna sura seuri siga nu merean
tungtungna kuring poho kana pamadegan

memang ngeunah kacida
leuleumpangan di jalan babatuan

Senin, 04 Februari 2013

PUISI SUNDA TENTANG IBU

Di peuting anu tiis
Kalayan berselimut kasorangan
Kuterbangun melong wiati wiati kamar kuring
Terlintas di benak sosok engkau
Anu sok marengan kuring mapag isuk-isuk
Anu sok marengan kuring ngarasakeun panasnya sinar panonpoé
Anu sok marengan kuring nyaksian bulan sarta béntang
Sarta balik nganteur kuring ka dina saré anu panjang
Kabéh éta kiwari teu bisa deui kurasakan
Alatan ayeuna ku laér ti anjeun
Mekipun sabenerna ku teu bisa
Tapi ku yakin kabéh éta baris lekasan
Ibu………..
Kuring sono kalayan senyummu
Kuring sono jeung kaasih nyaah anjeun
Kuring sono kalayan belai lembutmu
Kuring sono baris pelukmu
Ku hayang kau weruh éta
Ibu……….
Kau sok aya
Dina unggal hembusan nafasku
Dina unggal léngkah suku kuring
Dina unggal naon anu ku gapai
Alatan kau kitu hartosna dina hirup kuring
Geter geter rasa katreusna..
Nganjung kana pusema kalbu..
Netep nanceub nurih kana sajeuroning rasa..
Amparan kahayang ngolebat ..
Nyipta rasa samanisna kadeudeuh…
Sakapeung jadi cimata ngumbara…

Ibu

Ibu…
Kumaha ridona anjeun
Parantos ngajaga diri abdi ti aalit
Tanpa menta bales jasa

Ibu…
Kumaha mulyana anjeun
Hiji waktu atawa jaga
Diri abdi insya Allah
Ngajawab pangorbanan anjeun
Pamanggih


Salapan bulan ngakandung
Moal aya hiji jalma
leuwih ti indung micinta
indung gudang hampura
Salapan bulan dikandung
Moal aya hiji jalma
leuwih ti anak rumasa
anak gudang dosa
Salapan bulan ngakandung
Pinuh rasa jeung rumasa
Salapan bulan dikandung
Pinuh dosa jeung rumasa

Indung


Iuh tanjung seungitna marganing wuyung
liuh indung perbawa nu cadu nundung
mun di dunya ngan aya indung jeung bapa
bakal bisa ngawasa sajagat raya
Ngan indung memeh miang dielingan,
“Lamun hirup ngan ngumbar karep sorangan
temahna poho ka indung
kaduhung nunggu di tuntung
nya hanjakal bakal jadi incu cikal.”




Karinding


Karinding merupakan salah satu alat musik asal Sunda. Ada beberapa tempat yang biasa membuat karinding, seperti di lingkung Citamiang, Pasirmukti, (Tasikmalaya), Lewo Malangbong, (Garut), dan Cikalongkulon (Cianjur) yang dibuat dari pelepah kawung (enau). Di Limbangan dan Cililin karinding dibujat dari bambu, dan yang menggunakannya adalah para perempuan, dilihat dari bentuknya saperti tusuk biar mudah ditusukan di sanggul rambut. Dann bahan enau kebanyakan dipakai oleh lelaki, bentuknya lebih pendek biar bisa diselipkan dalam wadah rokok. Bentuk karinding ada tiga ruas.

Cara Memainkan

Karinding disimpan di bibir, terus tepuk bagian pemukulnya biar tercipta resonansi suara. Karindng biasanya dimainkan secara solo atau grup (2 sampai 5 orang). Seroang diantaranya disebut pengatur nada anu pengatur ritem. Di daerah Ciawi, dulunya karinding dimainkan bersamaan takokak (alat musik bentuknya mirip daun).
Secara konvensional menurut penuturan Abah Olot nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada 4 jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan..

Fungsinya

Karinding yaitu alat buat mengusir hama di sawah. Suara yang dihasilkan dari getaran jarum karinding biasanya bersuara rendah low decible Suaranya dihasilkan dari gesekan pegangan karinding dan ujung jari yang ditepuk-tepakkan. Suara yang keluar biasanya terdengar seperti suara wereng, belalang, jangkrik, burung, dan lain-lain. Yang jaman sekarang dikenal dengan istilah ultrasonik. Biar betah di sawah, cara membunyikannya menggunakan mulut sehingga resonansina menjadi musik. Sekarang karinding biasa digabungkan dengan alat musik lainnya.
Bedanya membunyikan karinding dengan alat musik jenis mouth harp lainnya yaitu pada tepukan. Kalau yang lain itu disentil. Kalau cara ditepuk dapat mengandung nada yang berbeda-beda. Ketukan dari alat musik karinding disebutnya Rahel, yaitu untuk membedakan siapa yang lebih dulu menepuk dan selanjutnya. Yang pertama menggunakan rahèl kesatu, yang kedua menggunakan rahel kedua, dan seterusnya. Biasanya suara yang dihasilkan oleh karinding menghasilkan berbagai macam suara, diantaranya suara kendang, goong, saron bonang atau bass, rhytm, melodi dan lain-lain. Bahkan karinding bisa membuat lagu sendiri, sebab cara menepuknya beda dengan suara pada mulut yang bisa divariasikan bisa memudahkan kita dalam menghasilkan suara yang warna-warni. Kata orang tua dahulu, dulu menyanyikan lagu bisa pakai karinding, Kalau kita sudah mahir mainkan suara karinding, pasti akan menemukan atau menghasilkan suara buat berbicara, tetapi suara yang keluar seperti suara robotik

Minggu, 03 Februari 2013

iuh, iuh gunung kuring
angin ulin dina embun-embunan
sawaktu-waktu kuring kudu nepungan
dumeh hirup halabhab cinta
di maranehna nya ayana
Aya sababna kuring tibelat
aya sababna kuring pegat
tapi nu ahir lain kaabadian
kakasih dina despise ngawih deui
Iuh,iuh gunung kuring
nyata, nyata tanda-tanda
ngabalungbung jalan hirup
nepi ka nyawa rek asup
ka maranehna kuring rek balik
ka maranehna kuring rek pamit
 LIRIK LAGU TIGA TITIK HITAM




Ketika semua bayang menjauh dari tubuh
Dan ketika semua angan enggan menyapa
Terbaring aku, terjebak aku
Di keheningan dalam ketiadaan
Kucoba cahayai ruang jiwa ini
Terus berharap dan terangi
Kucoba sembunyikan suara hati
Terus menampik dan berlari
Kutenggelam dalam kelam
Dan menjauh tanpa bayang
Kucoba menelan luka yang tak kunjung usai
Teriakan namamu
Dikesunyian hatiku
Meraba, merangkul suryamu
Dikehangatan jiwamu
Saat kebenaran tak lagi bermakna
Aku tersandar dan terdiam
Kemana akan kubawa diriku pergi
Semakin jauh, semakin rapuh
Lepaskan diri, jatuh membusuk
Biarkan aku, hilang ..
Muak !
Terluka .. Aku .. Mencari

Sabtu, 02 Februari 2013


Gupay kamelang marengan lengkah panjang
Nyarungsum kalbu kebek kabingung
Hate seja neang kaheman nu lawas ilang
Kiwari ukur tinggal rasa kagandrung


kamana kedah ngungsikeun kanyeri
nu kapatri dina ati sanubari
mungguh diri katalimbeng tunggara
kasarung dileuweung baluweng

Diri seja nyungsi kadeudeuh baheula
nu ayeuna duka dimana ngancikna
katineung teu weleh manteng
Naha katresna masih manjing jeung endahna

Jumat, 01 Februari 2013


Adam lali tapél : Poho ka baraya jeung poho ka lemah cai.
Adat kakurung ku iga : Adat nu hésé digantina.
Adéan ku kuda beureum : Beunghar ku barang titipan atawa ginding ku pakéan batur.
Adigung adiguna : Gedé hulu, boga rasa leuwih ti batur.
Aya astana sajeungkal : Anu mustahil ogé bisa kajadian.
Aya jalan komo meuntas : Eukeur mah aya maksud, turug turug aya pilantaraneun.
Aya bagja teu daulat : Arék meunang bagja atawa kauntungan tapi teu tulus.
Aya peurah : Aya komara, aya harga, aya pangaji.
Ayakan tara meunang kancra : Nu bodo jeung nu pinter moal sarua darajatna jeung panghasilanana.
Akal koja : Pinter dina kagoréngan atawa kajahatan.
Aku panggung : daréhdéh jeung méré mawéh, ngan hanjakal ku ieu aing asa pangpunjulna, pangbeungharna jste.
Aku aku angga : Ngaku barang batur kalawan ngandung maksud hayang mibanda. Ngaku baraya batur anu beunghar atawa jeneng, mamrih kahormatan atawa kauntungan.
Aki aki tujuh mulud : Lalaki nu geus kolot pisan.
Alak paul : Tempatna nu lain dikieuna, ngeunaan jauhna jeung pisusaheunana.
Alak alak cumampaka : Resep jeung hayang dipuji batur, boga rasa pangpunjulna. Anu handap hayang nyaruaan nu luhur, nu hina hayang nyaruaan nu muya.
Alus panggung : alus laur hade omé, tegep dedeg pangadegna.
Ambek nyedek tanaga midek : Ari napssu pohara gedéna, ngan masih bisa meper diri.
Anak merak kukuncungan : Sipat-sipat nu aya di anak, babakuna nu hadéna, sasarina loba anu diturunkeun ku kolotna.
Anak puputon : Anak nu kacida didama-damana, nu pohara dipikanyaah.
Anjing ngagogogan kalong : Mikahayang nu lain lain, nu pamohalan pilaksanaeun.
Aub payung, sabet panon, sabasoba : Wewengkon, ngeunaan tanah.
Ari umur tunggang gunung, angen angen pecat sawed : Ari umur geus kolot tapi haté ngongoraeun kénéh.
Asa ditonjok congcot : Meunang kabungah nu gedé, anu saenyana teu diarep arep.
Asa nanggeuy endog beubeureumna : Kacida nyaahna.
Asa potong leungeun katuhu : Leungiteun jalma nu pohara hadé gawéna.
Ati mungkir beungeut nyinghareup : Palsu, siga sono, tapi henteu. Siga suka, tapi henteu, siga nyaah tapi hanteu.
Ambekna sakulit bawang : Gampang pisan ambek, jeung mun geus ambek teu reureuh sakeudeung.
Aya jalan komo meuntas : Aya lantaran anu diarep arep ti tadina nepi ka maksud urang gancang
kalaksanakeun.
Asa dijual payu : Ngungun duméh nyorangan di panyabaan, jauh ti indung bapa.
Anjing ngagogogan kalong : Mikahayang nu moal bakal kasorang.
Anak merak kukuncungan : Turunan anu hadé laku lampahna, luhur budina, galibna sok hade deui laku lampahna, luhur deui budina, cara luluhurna bae.
Asa ditumbu umur : Boga rasa kahutangan budi anu pohara gedéna.
Aya jalan komo meuntas : Aya pilantaraneun atawa pijalaneun pikeun ngalaksanakeun atawa ngabulkeun kahayang.
Asa nyanghulu ka jarian : Ngawula ka anu sahandapeun umur pangarti atawa pangalaman.
Aya di sihung maung : Kulantaran loba kawawuh jeung gegedén dina aya karerepet atawa kaperluan penting gampang naker meunang pitulungna.
Ari diarah supana, kudu dipiara catangna : Naon baé nu méré hasil ka urang kudu diurus bener bener.
Beuteung anjingeun : Ngeunaan ka jelema nu beuteungna cara/siga beuteung anjing.
Belang bayah gindi pikir : Boga pikiran goréng ka papada kawula.
Balég tampélé : Ari rasa tresna ka lalaki geus aya, ngan lamun papanggih jeung jelemana gede kénéh kaéra.
Bali geusan ngajadi : Tempat dilahirkeun.
Balung kulit kotok meuting : Teu eureun eureun nyeri haté ti baheula nepi ka kiwari.
Balungbang timur, caang bulan opat belas, jalan gedé sasapuan : Béak karep ku rido jeung beresih haté.
Banda tatalang raga : Lamun urang papanggih jeung karerepet, gering upaman, euweuh halangan urang ngajual barang nu aya pikeun ngabéla diri, meuli ubar sangkan waras.
Bengkung ngariung bongkok ngaronyok : Babarengan sok sanajan dina hina, rugi, atawa cilaka.
Beurat nyuhun beurat nanggung, beurat narimakeunana : Pohara narimakeunana kana pitulung, ngan teu kawasa ngedalkeun ku lisan atawa tulisan, Anging Gusti nu ningali.
Beureum paneureuy : Seuseut batan neureuy keueus, hésé pisan, seuseut seuat ngahasilkeun maksud.
Beurat birit : Hésé jeung sungkan dititah.
Biwir nyiru rombéngeun : Resep mukakeun rasiah sorangan atawa rasiah batur.
Biwir sambung lémék, suku sambung lengkah : Henteu milu milu kana tanggung ajwabna mah, ieu mah ngan saukur mangnepikeun dumeh jadi utusan, ngemban timbalan tinu lian.
Bobo sapanon carang sapakan : Aya kuciwana, lantaran aya kakuranganana atawa karuksakanana.
Bobor karahayuan : Henteu rahayu, henteu salamet, meunang kacilakaan atawa tiwas.
Buluan belut, jangjangan oray : Pamohalan kajadian.
Bungbulang tunda : Tunda talatah. Lamun dititah tara sok pék ku manéh, tapi sok nitah deui ka batur.
Bur beureum bur hideung, hurung nagtung siang leumpang : Ginding, loba pakéan anu aralus dipaké.
Buburuh nyatu diupah beés : Nyiar pangarti tur diburuhan atawa digajih.
Buruk buruk papan jati : Ka sobat atawa ka baraya mah sok hayang ngahampura baé lamun aya kasalahan téh.
Bonténg ngalawan kadu : Nu leutik ngalawan nu gedé.
Buntut kasiran : Korét, medit, ngeupeul, tara pisan daek barangbéré.
Biwir nyiru rombéngeun : Resep ngucah ngaceh rasiah atawa kaaeban boh nu sorangan boh nu batur.
Budi santri, légég lebé, ari lampah euwah euwah : Ari laku lampah mah kawas santri tapi sok ceceremed.
Bluk nyuuh blak nangkarak : Kabina bina rajina dina enggoning nyiar kipayah.
Bilih aya tutus bengkung : Bisi salah pokpokanana.
Cara bueuk meunang mabuk : Ngeluk baé, teu lemék teu carék, euweuh hojah, euweuh karep, euweuh kahayang sabab éra atawa sieun.
Ciri sabumi cara sadésa : Béda tempatna, béda deui adat jeung kabiasaanana.
Caang bulan dadamaran : Migawé nu kurang mangfaat.
Cara jogjog mondok : Carékcok baé, mani gandéng naker.
Cara gaang katincak : Anu tadina ramé kacida, ayeuna mah jadi jempling pisan.
Cikaracak ninggang batu laun laun jadi legok : Najan bodo asal leukeun diajarna lila lila oge tangtu bisa.